Hubungan Epistimologi Islam dengan Lahirnya Ilmu Islam yang Membedakan dengan Ilmu Sekuler
Dari pengertian Epistimologi dalam pandangan Islam
yang telah dijelaskan di atas tadi, terdapat hubungan antara Epistimologi Islam
dengan lahirnya ilmu dalam dunia Islam, Ilmu sendiri ialah mengetahui kebenaran
dan kebenaran itu sendiri adalah Ilmu. Memiliki ilmu berarti menggenggam
kebenaran. Ilmu berasal dari bahasa Arab yaitu, ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, yang berarti mengerti dan memahami benar –
benar. Islam sendiri sangat menghargai ilmu, dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa
Allah meningkatkan derajat orang – orang yang beriman dan berilmu. (QS.
Al-Mujadalah: 11). Maka dengan
pengertian epistimologi yaitu membicarakan ilmu atau pengetahuan, dengan Islam
sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai – nilai keilmuan, dan mewajibkan
setiap pemeluknya mencari ilmu, disitulah terdapat sinkronisasi antara
keduanya. Karena tradisi ilmu ini akan membawa kejayaan dunia maupun akhirat.
Dengan perbedaan cara menyikapi makna Epistimologi
dengan Islam, maka dalam pandangan hidup orang barat terdapat banyak sekali
pemahaman atau aliran yang berlaku di barat yang sangat jauh dari syari’at
seperti yang berlaku dalam dunia Islam. Seperti contoh ialah sekulerisasi ilmu.
Proses sekulerisasi ilmu sendiri dimulai ketika seorang filsuf barat
Rene Descarte, yang memformulasi sebuah prisip, “aku berfikir maka aku ada”. Dengan prinsip ini, Descartes telah
menjadikan rasio satu – satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Secara makna
istilah sekulerisme memiliki pandangan akan kehidupan yang memisahkan antara
dunia dan akhirat, agama dan negara, akal dan wahyu, materi dan immateri,
rasional dan irrasional. Sekulerisme menjadi paham yang melihat sebuah realitas
secara parsial dan menafikan segala sesuatu yang tidak bisa diterima secara
rasional dan logis. Maka sekularisasi ilmu sendiri ialah membuang segala yang
bersifat religious dan mistis, karena dipandang tidak relevan dalam ilmu. Mitos
dan religi disejajarkan dan dipandang sebagai pra ilmu yang hanya berada dalam
dunia rasa. Ini berarti bahwa peran Tuhan dan segala yang berbau mistis dan
bernuansa ghaib dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu dan harus dipisahkan
atau jika perlu ditiadakan. Sehingga sekulerisasi dapat juga disebut sebagai
desakralisasi (melepaskan diri dari segala bentuk yang bersifat sakral).
Komentar
Posting Komentar